ENERGI resonansi Al
Qur’an sangatlah besar. Sehingga, segala yang memiliki kesamaan
frekuensi dengannya akan bergetar hebat. Semakin presisi kesamaannya,
semakin kecil noise-nya, dan semakin dahsyat pula resonansi yang
terjadi. Sehingga, tidak heran, Allah sampai memberikan perumpamaan
tentang hancurnya gunung, ketika Al Qur’an diturunkan kepadanya.
QS. Al Hasyr (59): 21, ‘’Kalau
sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu
akan melihatnya tunduk hancur berantakan disebabkan ketakutannya kepada
Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya
mereka berpikir.’’
Al Qur’an mengandung energi yang sangat besar bagi siapa saja yang matching
dengan frekuensinya. Bagi gunung yang tidak berakal, energi Al Qur’an
akan bersifat menghancurkannya secara fisikal jika diresonansikan
kepadanya. Karena, sesungguhnya energi Al Qur’an itu bukan tersimpan di
dalam tulisan-tulisannya – sehingga ada orang yang menggunting lembaran
Al Qur’an untuk menjadi jimat – melainkan tersimpan di dalam maknanya.
Hanya mereka yang faham secara maknawi saja yang akan merasakan
resonansinya. Semakin paham, semakin dahsyat pula getarannya.
Energi
makna itu jika diturunkan kepada makhluk berakal akan terserap sebagai
potensi yang sangat besar, yang bisa menghancurkan dunia, atau
sebaliknya mensejahterakannya, bergantung pada keimanan. Bagi mereka
yang tidak beriman, atau apalagi ingkar, potensi yang besar justru
sangat membahayakan kehidupan. Sementara, bagi mereka yang beriman,
potensi yang besar itu akan sangat bermanfaat untuk membangun kehidupan
yang lebih baik. Yang rahmatan lil alamin.
Resonansi
pada benda mati, yang berasal dari sumber frekuensi super besar seperti
itu, bisa sangat membahayakan. Ibarat ada suara pesawat supersonik yang
terbang rendah, bakal menghancurkan kaca-kaca jendela dikarenakan
kerasnya suara, yang disebut sonic boom. Hal seperti ini, juga diinformasikan oleh Al Qur’an saat menceritakan hancurnya kaum Tsamud. QS. Huud (11): 67. ‘’Dan
suara yang menggelegar menghancurkan orang-orang zalim itu (kaum
Tsamud). Lalu mereka mati bergelimpangan di kediamannya.’’
Maka,
perumpamaan hancurnya gunung itu adalah menunjukkan betapa besarnya
energi yang tersimpan di dalam Al Qur’an. Yang jika dikonsentrasikan
bisa menjadi gelombang suara yang menghancurkan secara fisikal, ataupun
menghanguskan segalanya seperti terkena cahaya laser. Tak ada benda mati
yang sanggup menerima konsentrasi energi itu secara fisikal. Bahkan,
planet Bumi sekalipun.
QS. Ar Ra’d (13): 31 ‘’Dan
sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu
gunung-gunung dapat diguncangkan atau bumi jadi terbelah, atau oleh
karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (niscaya itulah
Al Quran). Sebenarnya segala urusan itu adalah milik Allah. Maka
tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah
menghendaki tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya...’’
Berbeda
dengan manusia, yang memiliki akal kecerdasan, energi besar itu akan
‘tenggelam’ di dalam gelombang informasi yang tersimpan di dalam makna
ayat-ayat-Nya dan terserap dalam potensi kejiwaan kita, yang kelak
disalurkan dalam bentuk karya-karya yang menyejahterakan kehidupan
manusia beserta peradaban yang menyertainya. Atau, bisa juga, menjadi
penghancur kehidupan kita sendiri jika potensi semacam itu berada di
tangan orang-orang yang zalim.
Itulah sebabnya, badan
Rasulullah bergetar hebat ketika beliau menerima wahyu Al Qur’an yang
berenergi sangat besar itu. Resonansinya menggetarkan pusat kecerdasan
spiritual beliau sedemikian dahsyatnya. Dan itulah yang oleh Al Qur’an
disebut sebagai fuaad, yang berfungsi sebagai mata batin dalam berinteraksi spiritual. Bahwa, fuaad Rasulullah tidak mendustakan apa yang dilihatnya.
Kisah
tentang gemetarnya Rasulullah saat menerima wahyu itu terjadi pada saat
beliau sedang di gua Hira’. Demikian gemetar dan menggigilnya beliau,
sehingga saat pulang kerumah minta diselimuti oleh istrinya, Siti
Khadijah. Sebuah rasa ketakutan dikarenakan resonansi energi yang
demikian dahsyat. Istilah ‘ketakutan’ ini juga digunakan untuk
menjelaskan gunung saat ia hancur berantakan, jika Al Qur’an itu
diturunkan kepadanya.
Gemetaran yang disebabkan oleh turunnya energi spiritual itu memang bukan hanya menyentuh pusat kecerdasan di fuaad saja, melainkan lantas merembet menggetarkan qalbu,
dan akhirnya sampai ke permukaan kulit. Artinya, seluruh tubuh akan
bereaksi menerima curahan potensi energi yang sangat besar itu.
QS. Az Zumar (39): 23. ‘’Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati (qalbu)
mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab
itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun.’’
Getaran
energi makna yang masuk secara spiritual dan kemudian merembet ke
seluruh penjuru tubuh secara fisikal itu akan menjadi tenang kembali
ketika kita berdzikir kepada Allah. Mengingat dan merasakan kehadiran
Allah sebagai Sang Pemberi Petunjuk. Dan itu, dirasakan oleh Rasulullah
setelah beliau bisa ditenangkan oleh istrinya dan pendeta Waraqah bin
Naufal, yang meyakinkannya bahwa peristiwa itu adalah turunnya wahyu
dari Allah Sang Maha Agung.
Dengan turunnya energi
makna yang sedemikian dahsyat dari dalam firman-firman Allah itu, maka
beliaupun menjadi seorang manusia teladan yang mengubah dunia.
Karya-karya dakwahnya memancarkan cahaya yang terang benderang bagi
peradaban manusia. Yang resonansinya, menyebabkan umat Islam mencapai
zaman keemasannya di abad-abad yang lalu.
Lantas
kenapa sekarang umat Islam mengalami kemunduran yang luar biasa
dibandingkan zaman itu? Secara teori resonansi, penjelasannya menjadi
sangat sederhana. Dikarenakan, banyak diantara kita yang tidak lagi
teresonansi oleh kepribadian Rasulullah dan pancaran energi Al Qur’an
itu. Kenapa tidak teresonansi? Karena, frekuensi jiwa kita tidak seperti
Rasul. Beliau lembut, kita kasar. Beliau suka memaafkan, kita suka
mendendam. Beliau ikhlas, kita penuh pamrih. Beliau penuh kasih sayang,
kita penuh dengan amarah. Beliau berakhlak mulia, sedangkan akhlak kita
‘entahlah’..!
Mudah-mudahan Ramadan kali ini mampu
melembutkan kembali frekuensi jiwa kita selembut Rasulullah, sehingga
petunjuk Allah akan meresonansi jiwa kita menjadi nafsul muthmainnah, kualitas tertinggi seorang manusia, yang membawa manfaat sebesar-besarnya buat lingkungannya. Wallahu a’lam bissawab.
Sumber : Dikutip Dari Catatan Agus Mustofa
Tag :
Artikel
0 Komentar untuk "Tafakur Ramadhan"